Kamis, 03 Desember 2009

Menjaga identitas: memegang bara


“Gua bakalan masuk neraka” kata KH. Noer Alie suatu sore. Saat itu para santri baru saja akan membuka kitab Syarah Alfiah karangan Ibn ‘Aqil untuk dibaca dihadapan beliau. Terus terang para santri jadi bingung karena nggak ada hubungannya antara mata pelajaran ilmu Nahwu dengan neraka. lagian kalau selevel kiai aja masuk neraka, bagaimana mereka-mereka yang masih suka ngelayap. Tanpa ditanya beliau meneruskan, bahwa ia baru saja membaca kembali hadits yang menyatakan orang yang suka memegang dan menyentuh tangan wanita pada hari Kiamat nanti akan diletakkan pada tangannya bara api neraka. “Lu bayangin gua tiap hari salaman sama anak perempuan, murid-murid gua sendiri, apa bukan neraka itu?” Beliau lalu tertunduk dan terlihat dari matanya menetes titik air.

Para santri terdiam. Lulusan Aliyah tahun 1983 yang kemudian diangkat menjadi santri PTA (Pesantren Tinggi Attaqwa) itu tidak banyak. Hanya 12 orang. Tapi pada pengajian sore itu seperti biasanya mereka digabung dengan para senior yang jumlahnya dua kali lipat. Saat itu tidak pernah terlintas dalam benak mereka bahwa kelak Bekasi akan menjadi kota dan daerah industri seperti sekarang ini. Atau tempat mereka nyantri sekarang akan dikelilingi perumahan yang penghuninya nggak karu-karuan. Tantangan untuk menjaga identitas sebagai seorang santri saat itu justru datang dari dalam diri sendiri. Begitu banyak godaan untuk melepaskan peci, meminjam istilah sohib Zubair Murikh, yang kini sudah almarhum. Padahal saat itu, pilihan yang tersedia juga tidak banyak, selain tempat hiburan juga jauh-jauh. Jadi pilihan untuk menjadi baik dan buruk ada pada kemauan sendiri.

Melintasi pasar Marakkesh, sebuah pojokan di perumahan Pondok Ungu Permai (PUP) malam minggu di bulan Juli 2009. Melewati keadaan sekeliling orang akan merasa seperti berada di dunia yang berbeda. Dunia yang sangat asing buat seorang santri. Begitu asingnya sehingga seorang santri tidak akan sadar bahwa daerah ini dulunya pesawahan luas dan terletak hanya beberapa jengkal dari pondok tercinta. Pondok tempat dulu para santri ditempa dengan keras dan tegas dalam masalah agama oleh seorang tokoh agama-pejuang, yang kini memperoleh penghargaan sebagai pahlawan nasional; KH. Noer Alie. Di sekitar Marakkesh ini ada jalan yang dipenuhi pedagang pinggir jalan yang berjualan bermacam barang, Ada juga jalan yang di tepinya berderet ratusan motor, dengan muda-mudi berkumpul di sana-sini. Terkadang terdengar suara cekikian dari beberapa diantara mereka. Selain itu ada jalan dimana kendaraan, terutama motor, lalu lalang tiada henti,
menyaingi ramainya jalan Sudirman-Thamrin di Jakarta. Padahal saat itu jam sudah menunjukkan angka 1. Langit di atas perumahan ini gelap, tidak berbulan dan tidak berbintang. Tapi suasana sangat terang oleh lampu jalan dan lampu taman, yang sering disebut “lampu tembak”. Tidak ada perumahan di Bekasi, sekota apapun tempatnya, yang pada malam minggu tingkat keramaiannya seperti disini.

Keluar dari pintu gerbang PUP berbelok ke arah Pasar Ciplak. Orang akan melewati jalan yang kondisinya sudah sulit disebut jalan raya. Rusak dan berdebu. Tapi yang membuat kaget setengah mati adalah, di daerah yang dulu dikenal sebagai kota santri ini, pada malam minggu seperti ini, berkeliaran wanita memakai tank top (orang kampung menyebutnya kutang) dan rok mini dengan dandanan menor seperti PSK. Selang beberapa jauh dari mereka ada beberapa lagi yang berjalan dibuat-buat, menunjukkan dengan jelas bahwa mereka adalah waria alias bencong. Tidak jelas apa yang mereka lakukan malam-malam seperti ini, Tapi jika ukurannya adalah tradisi santri jaman ngkong Kiai, wanita dan waria dengan pakaian seperti itu jelas bukan orang baik-baik.

Melewati pasar ciplak, suasana santri terasa lagi. Seorang teman berkomentar, koq batas antara syurga dan neraka cuma beberapa meter saja ya? Tidak bisa dibayangkan bagaimana para santri harus mempertahankan identitas kesantriannya dengan situasi seperti ini. Dalam bahasa pak Kiai, para santri ibarat memegang bara. Panas dan tidak banyak yang bisa bertahan...

Wallahu A'lam
Taman Rafflesia
Akhir Nopember 2009




0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails