Nurul Amin Muthi bertanya :
Pada hari ini, Selasa, 6 Januari 2009, saya mendengarkan kultum bakda salat zuhur di Masjid Al-Azhar Jakapermai yang disampaikan oleh Ustaz Muhammad Subhan tentang MUSYARAKAH MUTANAQISAH. Menulis beliau, konsep di atas dapat menjadi solusi bagi bangsa Indonesia agar tidak terjebak resesi dunia yang kini tengah melanda AS. Sepengetahuan beliau, konsep ini belum diterapkan di bank syariah.Mohon penjelasan tentang konsep tersebut.Terima kasih.
Cecep Maskanul Hakim menjawab :
Wah ini pertanyaan up-to-date banget.Saya baru menyelesaikan draft fatwa DSN tentang Musyarakah Mutanaqisah ini 2 minggu lalu. Mungkin sekarang sudah di meja KH. Sahal. Fatwa ini sudah diminta bank-bank syariah. Secara harfiyah, Musyarakah Mutanaqisah adalah Musyarakah dengan segala konsekwensinya, yaitu persekutuan para pemilik modal yang memberikan modalnya dalam jumlah yang disepakati, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan (dimuka) dan apabila terjadi kerugian dibagi berdasarkan proporsi kepemilikan modal. Dampak hukum (atsar) dari Musyarakah adalah kepemilikan bersama terhadap aset (mal) musyarakah secara proporsional dalam nilai, tidak secara fisik. Prinsip Mutanaqisah (kepemilikan yang semakin berkurang) mulai terjadi apabila salah satu mitra (syarik) menjual kepemilikannya kepada mitra (syarik) lainnya pada
harga yang disepakati. Ibn Qudamah membolehkan penjualan kepemilikan kepada mitra atau pihak ketiga dengan seizin mitra, sedangkan Ibn Abidin hanya membolehkan penjualan kepemilikan kepada mitra saja. Apabila salah satu mitra membeli kepemilikan itu secara bertahap, maka secara bertahap pula kepemilikan mitra lainnya dalam Musyarakah itu jadi berkurang. Untuk penerapan dalam perbankan syariah Muktamar Perbankan Islam Pertama di Dubai menambahkan 3 syarat lain, yaitu:(1) Musyarakah Mutanaqisah tidak menjadi instrumen keuangan semata dengan cara qardh (pinjaman). Oleh karena itu diharuskan adanya Musyarakah secara praktek (fi’liyyah), dimana para pihak menanggung kerugian seperti halnya berhak memperoleh keuntungan yang disepakati dari Musyarakah itu.(2) Bank harus memiliki bagian (hissah) dalam Musyarakah itu dengan pemilikan yang sempurna (tam), dan menikmati haknya yang penuh dalam administrasi dan pelaksanaan (tasarruf) serta pengawasan pembayaran (penunaian) beserta ikutannya;(3) Perjanjian ini tidak mengandung syarat yang menjamin pelaksanaan pengembalian mitra (nasabah) kepada bank semua bagian dalam modalnya dan mengembalikan apa yang dikhususkan baginya dari keuntungan, karena yang demikian itu menyerupai riba (syibhatur riba). Dalam perbankan syariah, bank dan nasabah masing-masing akan menyediakan dana untuk pemilikan usaha maupun inventaris seperti kendaraan, mesin maupun rumah. Lalu secara bertahap nasabah membeli kepemilikan tersebut dari bank dalam jangka waktu tertentu, sehingga pada saat jatuh tempo, seluruh aset itu menjadi milik nasabah. Penerapan seperti ini akan mengakibatkan banyak pertanyaan dari publik diantaranya:1. Jika aset Musyarakah itu berupa aset (aktiva) tetap seperti rumah dan mobil, bolehkah nasabah sendiri yang menyewanya?2. Jika aset tetap itu milik bersama bank dan nasabah, sebagai syarik dalam musyarakah itu, apakah nasabah berhak menerima hasil juga dari penyewaan aset tersebut?Jawaban terhadap kedua pertanyaan itu adalah “ya.†Masalahnya tinggal pencatatan dan akuntansi yang harus rapih, serta sikap akuntabilitas yang harus ditunjukkan lewat transparansi. Sebagai sebuah instrumen ekonomi, Musyarakah Mutanaqisah sudah diterapkan dalam berbagai bentuk, seperti IPO + buy back, sindikasi, modal ventura dll. Tapi dalam ekonomi biasa, ada hal yang membuat para pelaku ekonomi sering mengalami kerugian yang tak terduga. Yaitu bunga yang menjadi dasar perhitungan dihitung bersama waktu yang berjalan. Dalam Musyarakah Mutanaqisah, kepemilikan dilakukan bersama dan kerugian ditanggung bersama, sehingga apabila terjadi masalah ekonomi, semuanya ikut merasakan. Tidak seperti sekarang. Yang menangguk kesempatan untung besar-besaran, giliran rugi, semua orang kena krisis.
Wallahu a'lam
Nurul Amin Muthi bertanya :
Terima kasih atas jawaban Bang Cecep. Terlepas dari apa yang dikemukakan Bang Cecep, saya cukup terkesan dengan kultum Ustaz Subhan. Terus terang, saya tidak mendengarkan dengan penuh konsentrasi saat beliau berkultum. Bukan karena saya tertidur atau meninggalkan forum, tetapi karena kebiasaan buruk saya yang suka menghayal.Saya berkhayal, seandainya musyarakah mutanaqisah disampaikan ke publik dengan bahasa yang mudah dicerna, tentu hal itu akan memudahkan orang seperti saya yang sangat ingin memiliki laptop, mobil, dan pergi haji. Saya berkhayal setinggi langit. Tetapi kemudian khayalan saya terhenti ketika teringat akan kerumitan birokrasi pengurusan sesuatu dengan pihak bank.Setelah membaca penjelasan Bang Cecep, saya menyadari bahwa segala program yang bagus ketika disampaikan (saat kultum) belum tentu sesederhana aplikasinya. Semoga umat Islam kian menyadari pentingnya penerapan syariat Islam dalam segala hal, termasuk urusan ke-bank-an. "Dan (sesungguhnya) Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba."Sekali lagi, terima kasih.
Cecep Makanul Hakim Menjawab :
Yang saya tahu, syariah itu mudah, tradisi kita yang bikin susah. Kalau kita ambil contoh nikahnya Rasulullah, semuanya simpel. Abis ngelamar, nikah. Ada kedua mempelai, wali, kedua saksi dan mahar. Lalu potong kambing, undang semua tetangga terdekat, makan bareng, umumkan bahwa fulan sudah menikah dengan fulanah. Selesai. Apa yang terjadi dengan ummat sekarang? Ada sederet urusan yang harus diselesaikan sebelum acara nikah. Ada uang belanja dan uang lainnya disamping mahar. Lalu biaya walimah yang puluhan bahkan ratusan juta. Ada adat injak telur, suapan bareng, melepas merpati....Di dunia perbankan hal yang sama juga terjadi. Bagi hasil dan jual beli "is very simple". Tradisi perbankan dan keuanganlah yang bikin itu susah. Nasabah harus siap dengan identitas diri, sejarah usaha, NPWP, jaminan dan tetek bengek lainnya. Penjelasan yang saya berikan di email kemarin memang ditujukan kepada anda-anda yang saya anggap pinter fiqih karena berasal dari pesantren, bahkan IAIN, yang saya anggap simbol kecemerlangan ilmu-ilmu syariah. Untuk konsumsi masyarakat luas, tentu bukan itu yang saya berikan. Karena masyarakat kita lebih mengerti teori keuangan dari dunia Barat, saya terpaksa menjelaskannya dalam bahasa mereka (IPO+buy back, venture capital, loan syndication dll), dengan kekhawatiran yang amat tinggi: mereka menyamakan Musyarkah Mutanaqisah dengan pinjaman berbunga sekian persen.... Soal terpedaya oleh ceramah, banyak jamaah saya di Masjid AlAzhar yang juga merasa tertipu oleh ceramah saya, ketika menjelaskan tentang ekonomi syariah. Dari ceramah itu, mereka merasa bahwa syariah itu mudah. Tapi ketika datang ke bank syariah atau asuransi syariah, kerumitan lah yang justru mereka dapatkan. Apa mau dikata, teori dengan praktek memang sering bersebrangan.... Tapi itu bukan satu-satunya faktor. Kondisi Indonesia seringkali jadi biang keladi orang2 tidak memperoleh pembiayaan dengan mudah, bahkan untuk membeli hal-hal yang kecil, seperti laptop, hanphone, atau umrah. Bahasa perbankan yang diungkapkan adalah risk profile nya disini tinggi. Akar dari persoalannya adalah kepastian hukum tidak jelas. kepastian hukum yang tidak jelas bisa-bisa membalik orang yang punya hak menjadi tidak berhak. Kalau sudah begini kondisinya, ini tanggung jawab siapa?
Wallahu A'lam
Attaqwa, NU atau Muhammadiyah?
2 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar