Rabu, 09 Desember 2009

Diskusi Milis tentang Keynesians versus Neo-Classic

           
Untuk mengerti ekonomi secara makro (negara) ada dua isu besar yang harus difahami dan bertolak belakang, yaitu inflasi dan keterpakaian sumber ekonomi (employment). Jika inflasi rendah maka pengangguran tinggi, dan sebaliknya apabila pengangguran rendah otomatis inflasi akan tinggi. Ada juga isu lain yang merupakan target makro sebuah pemerintah, seperti investasi, pendapatan negara (income, GNP)  dan ekspor-impor, tapi tidak relevan dengan paper yang saya forward


Melihat fenomena ini, para ekonom terbagi menjadi dua mazhab besar. Monetaris, yaitu penerus generasi Klasik, seperti Adam Smith, Ricardo, JB. Say, Walras dan lain-lain. Mazhab Monetaris sendiri dirujuk kepada Irving Fisher dan diteruskan oleh muridnya, Milton Friedman-yang dikenal sebagai "nabi" kaum monetaris, Franco Modigliani dan Samuelson. Kaum monetaris kini bereinkarnasi menjadi group yang disebut Neo-Klasik. Inti dari ajaran ini adalah bahwa dalam situasi penggunaan sumber ekonomi
yang sudah terpakai semua (full-employment) maka yang paling efektif adalah kebijakan moneter. Gunakan semua instrumen moneter untuk mengendalikan ekonomi, seperti sukubunga (naik dan turun), suplai uang (ekspansif-kontraktif) dan yang paling anyar, nilai tukar mata uang (intervensi untuk menurunkan harga valas). Jaman Pakto 88 sampai 98 merupakan masa keemasan buat group monetaris di Indonesia dengan
berkembangnya lembaga keuangan, terutama perbankan, sehingga untuk mengatur ekonomi, pemerintah cukup mengandalkan kebijakan moneter. Only money matter, semboyannya. (Ingat gebrakan Sumarlin I dan II yang menarik peredaran uang, sehingga sukubunga jadi meroket)

Mazhab kedua yang disebut Keynesian yang merujuk kepada John Maynard Keynes dan para penerusnya seperti Simon Kuznets, Philips (yang terkenal dengan kurva Philip-hubungan antara tingkat harga dan tenaga kerja), Lorenz (kurva pemerataan pendapatan) dan lain-lain, termasuk Stanley Fisher (utusan IMF yang datang ke Pemerintah zaman Habibi). Keynesian mengasumsikan situasi ekonomi tidak pernah full employment. Oleh karena itu kebijakan fiskal (belanja pemerintah dan pajak) merupakan kebijakan efektif. Misalnya untuk menekan inflasi, diperlukan pajak yang efektif agar masyarakat tidak mengkonsumsi barang dan jasa terlalu banyak. Akibatnya akan terjadi penurunan permintaan yang mendorong penurunan harga. Jika tingkat rata-rata harga menurun, maka dapat dikatakan inflasi telah turun. Contoh lain, jika pemerintah punya uang, untuk meningkatkan ketersediaan barang bagi masyarakat pemerintah dapat melakukan intervensi ke pasar dengan melakuan investasi dan belanja.
Dengan beralihnya penekanan pemerintah kepada sektor perpajakan, kesan saya, Indonesia nampaknya kini berusaha mengikuti ajaran kaum Keynesian. Mungkin karena paradigma yang dipegang Prof. Dorodjatun memang lebih ke arah sana.

Mana yang lebih cocok? Saat ini rekomendasi dari mazhab apapun (termasuk ada yang menyarankan mengikuti kebijakan pendapatan - income policy) tidak akan pernah cocok jika faktor non ekonominya tidak dibenahi seperti korupsi, kolusi dan nepotisme serta kestabilan politik. Dulu Widjojo Nitisastro and the gang bisa berhasil karena faktor politik distabilkan dengan tangan besi oleh Soeharto.

Para ekonom Islam biasanya lebih berkiblat kepada Keynes, karena asumsi Keynes tentang "liquidity preference", bahwa masyarakat pada tingkat sukubunga yang sangat rendah sudah tidak perduli lagi pilihan dalam bentuk tunai atau aset keuangan, seperti saham dan deposito.

Untuk menambah pemahaman, ada satu buku bagus yang dapat dijadikan reference, mudah-mudahan bisa dicari: "History of Economic Theory and Method" karya Herbert Eckelund. Ada juga karangan Sadono Sukirno, "Makro ekonomi" terbitan UI Press, tapi sedikit saja yang membahas pemikiran di
atas.

Semoga bermanfaat.

* Tanggapan Bang Lutfi Asyaukanie      


Thanks a lot. Penjelasan Anda sangat bermanfaat. Memang, orang-orang seperti saya yang nggak well-equipped dengan economic matters kebingungan mendengar nama-nama mazhab itu. Kalau mazhab Syafii, Maliki, atau Hambali yang biasa ngurusin apakah nyentuh perempuan kalau lagi punya wudu batal atau tidak, kita sudah hapal di luar kepala. Sayangnya, mazhab-mazhab yang seperti ini nggak pernah bisa nyelesaian persoalan ekonomi. Jangankan ekonomi negara, ekonomi keluarga aja belum tentu bisa.

Saya kira, inflasi itu terjadi bukan cuma dalam bidang moneter saja. Tapi, dalam disiplin keilmuan islam yang semakin hari saya rasakan semakin perlu diintervensi agar nilainya bisa stabil lagi. Pilihannya kan cuma dua, mempelajari sesuatu yang nggak ada sangkut-pautnya dengan persoalan yang terjadi di sekeliling kita, atau membuangnya jauh-jauh. Persoalannya adalah, siapa yang akan berperan sebagai BI dalam masalah ini?


* Jawaban bang  Cecep Maskanul Hakim
                       

Saya setuju soal intervensi agar kajian Islam lebih semarak tanpa harus matchforming ke akar rumput. Dalam milis Islam Liberal saya sudah banyak bicara soal intervensi negara terhadap pengembangan sumber daya manusia. Kalau dilepas kepada pasar, saat ini terus terang aja, nggak bakal terkejar, karena saingannya udah terlalu berat. Saya lihat buku-buku Islam sekarang ini lebih cepat diterjemahkan di Malaysia ketimbang di tanah air. Para programmer di IBM kebanyakan dari India dan contoh
lainnya.

Saya sendiri tidak terlalu setuju dengan "infant industry argument" (mengikut jargon dalam ekonomi pembangunan) bahwa sebuah industri harus diproteksi melalui kuota dan tariff untuk bisa besar dan bersaing dalam pasar. Tapi untuk SDM, kita memang harus melakukan "quantum leap" seperti yang dilakukan Rusia dalam mengejar ketertinggalannya dariBarat.

Syukurlah budget pendidikan nasional sekarang sudah ditingkatkan menjadi 25% walaupun baru sekedar usulan dalam APBN. Catatan saya, agar budget sebesar itu tidak jadi seperti Nigeria atau BPPT, banyak yang disekolahkan tapi tidak berdayaguna, istilah ujungmalangnya "boncos"


Sumber photo : http://www.auburn.edu/~garriro/keynes.jpg

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails