Setelah mahkamah agung memutuskan bahwa UN ditolak kasasinya, seharusnya membuat pemerintah dalam hal ini depdiknas tidak perlu mengajukan peninjauan kembali (PK). Sebaiknya, langkah konkrit yang dilakukan oleh depdiknas adalah melakukan dialog dengan para pakar pendidikan mencari solusi dari permasalahan UN yang ada sekarang ini.
Tidak menerima keputusan MA, membuktikan bahwa depdiknas tidak mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Itu artinya sama saja depdiknas tak lagi mendengar aspirasi dari semua stakeholder yang telah dimintai pendapatnya oleh pengadilan.
Sekaranglah saatnya depdiknas melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat, mengundang para pakar pendidikan, baik dibidang perencanaan kurikulum, pakar pembelajaran, dan pakar evaluasi pembelajaran sehingga ditemukan titik temu yang menyenangkan semua pihak. Jangan korbankan lagi peserta didik kita, dan jangan ada lagi “transaksi” pendidikan di negeri ini. Perlu juga dibaca di sini.
Sudah saatnya depdiknas mau mendengar dan tidak lagi mencari bukti agar UN tetap dipertahankan sistemnya seperti sekarang ini. Bila hal itu terus dipertahankan UN akan menuai kontra kembali yang akan bermuara ketidakpercayaan masyarakat kepada sistem pendidikan di tanah air.
Bila pemerintah ingin mempertahankan UN, sebaiknya pemerintah memperbaiki beberapa hal:
Kualitas guru yang belum merata, masih banyak guru yang belum profesional di bidangnya.
Sarana prasarana yang belum semua terstandar secara standard sarana prasarana.
akses informasi yang belum semua sekolah bisa terhubung ke internet, sehingga bisa mendapatkan informasi secara cepat dan murah. Ketiga hal tersebut memang tidak bisa dilakukan secara serempak, oleh karenanya
ujian nasional yang sekarang ini dilaksanakan sangatlah tidak memenuhi azas keadilan, sebab daerah-daerah yang tak memiliki kualitas guru yang berkualitas, sarana prasarana yang memadai dan keterbatasan akses informasi akan mengalami ketidakadilan. Coba saja anda bandingkan siswa di Jakarta diadu dengan siswa di papua yang sudah jelas ketiga hal diatas sangat berbeda.
Kita baca kolom opini koran kompas cetak hari ini, Selasa, 1 Desember 2009 yang ditulis oleh pakar pendidikan Darmaningtyas.
Sementara itu, para penolak UN berharap agar pemerintah legowo terhadap keputusan MA dan segera melaksanakannya dengan tidak perlu menggelar UN lagi. Apalagi, UN 2010 amat problematik dan cenderung menciptakan beban baru pada murid.
Problematik pertama adalah dimajukanya jadwal UN dari bulan April menjadi Maret. Pemajuan jadwal UN itu memberi konsekuensi pada proses pembelajaran yang serba tergesa, baik guru maupun murid dipaksa untuk menyelesaikan materi pelajaran maksimal awal Maret. Ketergesaan ini pasti hasilnya kurang baik, selain murid dan guru sama-sama stres.
Kedua, tak ada koordinasi antara pemimpin perguruan tinggi (PT) dengan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam menyusun jadwal UN dan ujian masuk ke PT secara mandiri. Yang terjadi adalah ujian masuk ke UI, misalnya, terjadi sehari sebelum UN dan ujian masuk UGM sehari setelah UN.
Dengan model soal yang berbeda antara UN dan ujian masuk PT, dapat dibayangkan tingkat stres murid kelas III SMTA yang dalam waktu bersamaan harus menyiapkan diri untuk ikut UN dan seleksi masuk ke PT.
Para murid jelas mengalami dilema tentang apa yang harus dipelajari. Bila konsentrasi ke UN terlebih dulu, bisa lulus UN tetapi belum tentu dapat mengerjakan soal ujian masuk PT. Sebaliknya, bila konsentrasi pada ujian masuk ke PT favorit, belum tentu lulus UN. Anak betul-betul menjadi korban dari keegoisan para penentu kebijakan pendidikan.
Problematik ketiga adalah ada UN ulangan yang akan dilaksanakan satu bulan setelah UN utama selesai atau sepekan setelah hasil UN utama diumumkan. Masa jeda yang panjang membuat murid bermalas-malasan belajar lagi, kecuali selama masa jeda masih ada pelajaran; sehingga UN ulangan hanya akan menjadi formalitas, tidak memiliki bobot akademik. Potensi manipulasi kelulusan pada UN ulangan akan jauh lebih tinggi dari UN utama, karena inilah upaya penyelamatan sekolah.
Keempat, buruknya penyusunan kalender pendidikan. UN dan pengumuman dimajukan, tetapi bila tes masuk perguruan tinggi serentak (SMNPTN) tidak maju; demikian pula proses penerimaan murid baru di jenjang sekolah yang lebih tinggi tidak dimajukan, sia-sia saja pemajuan jadwal UN itu, karena banyak sisa waktu murid kelas VI SD dan kelas III SMP-SMTA terbuang percuma antara setelah mengikuti UN sampai dengan penerimaan murid/mahasiswa baru. Pemajuan jadwal UN sepertinya tanpa konsep yang jelas.
Problematik kelima adalah kualitas hasil UN masih dipertanyakan, tetapi sudah dirancang akan menjadi pedoman untuk penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN). Seandainya saya pimpinan PTN, pasti menolak rencana itu karena kredibilitas UN sebagai pedoman kualitas pendidikan masih dipertanyakan. Bila para guru mata pelajaran yang di-UN-kan selalu heran dengan hasil UN muridnya yang melebihi kemampuan sehari-hari, bagaimana kredibilitas UN dapat dipertanggungjawabkan? Perguruan tinggi kelak tertipu saat kualitas mahasiswa yang mereka terima berdasarkan nilai UN ternyata tidak sebanding dengan tingginya nilai UN mereka.
Lalu kita baca berita yang berseberangan dengan pemikiran Darmaningtyas di Tempo interaktif edisi Sabtu, 28 November 2009.
Badan Standar Nasional Pendidikan menyatakan penyelenggaraan Ujian Nasional pasca putusan Mahkamah Konstitusi tidak melanggar hukum karena sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
“Justru melanggar hukum kalau tidak dilaksanakan,” kata Ketua Badan Mungin Eddy Wibowo saat dihubungi, Sabtu (28/11).
Mungin belum memperoleh salinan putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Ujian Nasional. Namun, berdasarkan salinan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007, tidak disebutkan bahwa Ujian Nasional tidak boleh diselenggarakan. Pemerintah diminta memperbaiki kualitas guru, sarana dan prasarana, serta akses informasi.
Perbaikan kualitas guru, sarana prasarana, dan akses informasi tidak dapat dilakukan secara serempak dan sekaligus. Perbaikan itu dilakukan terus menerus setiap tahun dan selalu disempurnakan. Untuk itu, Ujian Nasional tetap akan diselenggarakan.
Sebelumnya, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan pemerintah atas kasus ujian nasional. Rencananya, pemerintah akan mengajukan Peninjauan Kembali atas kasus tersebut.
Mungin menambahkan dalam putusan pengadilan tidak disebutkan agar Ujian Nasional tidak diselenggarakan. Menurut dia, dihentikannya Ujian Nasional hanya persepsi sekolompok kecil masyarakan yang memang tidak setuju diadakan ujian. “Yang menggugat itu kan yang anaknya tidak mampu mengikuti ujian nasional,” kata dia.
Dari pendapat kedua pakar pendidikan tersebut, saya melihat ada sebuah pemikiran yang berbeda dan ini harus ditemukan dalam dialog agar dapat diselesaikan solusinya. Tidaklah benar bahwa yang menggugat UN itu adalah para orang tua yang tidak mampu mengikuti UN, tetapi semua orang Indonesia yang peduli dengan dunia pendidikan pastilah ingin mencari keadilan. Jangan jadikan anak didik menjadi korban UN dari kebijakan pemerintah yang ternyata salah dan merugikan. Pemerintah harus mampu mendengar dan tidak memaksakan kehendaknya sendiri.
Sebaiknya UN dievaluasi kembali dan marilah kita sama-sama duduk satu meja mencari solusi terbaik sebab bagaimanapun semua itu akan bisa terpecahkan dengan cara dialog. Saya yakin, mendiknas yang baru bapak Prof. Muhammad Nuh adalah orang yang arif dan bijaksana dalam memutuskan hal ini. Dalam pelaksanaan UN nampaknya ada proses komunikasi yang tak sampai kepada pejabat BSNP dan mereka-mereka yang berkepentingan dalam melaksanakan UN. Perlu komunikasi terus menerus antar para pakar pendidikan sehingga permasalahan UN dipahami dengan benar dan bukan sepotong-sepotong. Melihat permasalahan UN secara sistemik dan holistik.
Bila ternyata dari hasil dialog para pakar itu lebih banyak diketemukan mudharat UN daripada manfaatnya, masihkah UN dipertahankan?
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
Komunitas blogger Bekasi (bloggerbekasi.com)
Sumber : http://wijayalabs.com
0 komentar:
Posting Komentar