Oleh : Irhamni Rofiun
Tanda-tanda dicabutnya ilmu oleh Allah SWT adalah perginya para ulama. Sudah banyak ulama yang telah pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Salah satunya adalah seorang tokoh masyarakat Oejoeng Malang (sekarang menjadi Ujungharapan) yang disegani sekaligus representatif generasi kedua Attaqwa. Beliau adalah KH. A. Tajuddin Marzuki seorang sosok suami dari Hj. Maqbulah H. Mahmud dan seorang panutan dari ke delapan anaknya,
banyak sekali kenangan penulis dari KH. A. Tajuddin Marzuki bukan karena beliau adalah baba gede atau paman penulis tapi memang beliau pantas disebut sebagai ulama yang handal, diantaranya adalah ketika penulis dilahirkan beliau adalah yang memberikan sebuah nama yang berbentuk doa, Irhamni. Diceritakan pada waktu penulis dilahirkan kakek dari bapak penulis tidak hadir pada momen yang berbahagia itu. Begitulah cerita unik dan berkesan dari beliau mudah-mudahan penulis bisa meneruskan estafet perjuangannya dengan mengingat kembali tujuan niat belajar ke mesir.
Penulis terus mencari data dan meneliti biografi serta profil singkat beliau dari seorang anak perempuannya Hj. Athiyah Tajuddin dan dari catatan otobiografi singkat KH. A. Tajuddin Marzuki yang ditulis oleh H. A. Zubair
Murikh yang juga telah wafat, kemudian penulis langsung merangkum dan menulis ulang serta sedikit merubah catatan mereka tanpa maksud dan tujuan tertentu. Berikut ini biografi singkat KH. A. Tajuddin Marzuki dari lahir sampai menghadap Allah untuk selama-lamanya.Masa Kanak-Kanak
KH. A. Tajuddin Marzuki lahir 59 tahun yang lalu,tepatnya 1941, di Kampung Lor, sebuah dusun yang terletak di belahan utara Desa Bahagia Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi. Ayahnya bernama H. Marzuki Anwar yang memiliki garis keturunan ulama meskipun orang lebih mengenalnya sebagai lurah Ojoeng malang yang semasa hidupnya sangat perduli dengan keadaan masyarakat desa yang dipimpinnya.Ibunya bernama HJ. Siti Maryamah, seorang perempuan desa yang dalam banyak hal selalu sederhana tetapi memiliki kharisma kuat baik di mata anak-anaknya maupun di mata orang lain. Seandainya kemudian KH. A. Tajuddin Marzuki menjadi pribadi yang dihormati dan disegani di masyarakat, hal ini menunjukkan bahwa pengaruh kedua orang tua yang melahirkannya itu sangat membekas. Dari ayahnya yang masih saudara sekandung dengan KH. Noer Alie, KH. A. Tajuddin Marzuki mewarisi jiwa kepemimpinan dan pendidik. Sedangkan dari ibunya yang berasal dari Pondok Soga, sebuah kampung di pesisir pantai utara laut Jawa, KH. A. Tajuddin Marzuki mewarisi keteguhan dan ketegasan sikap. Pribadi-pribadi inilah yang menghantarkannya ke Pondok Pesantren Attaqwa di mana dalam usia yang masih sangat muda, KH. A. Tajuddin Marzuki sudah dipercayakan oleh KH. Noer Alie (KH. Noer Alie telah resmi menjadi Pahlawan Nasional Indonesia) memimpin lembaga pendidikan putri Al-Baqiyatus Sholihat yang sekarang berganti nama Ponpes Attaqwa Putri. Umumnya anak-anak desa, dunia tempat KH. A. Tajuddin Marzuki menghabiskan masa kecilnya tidak jauh dari lingkungan keluarga. Pagi mengaji kepada guru-guru terdekat, siang membantu orang tua di sawah sambil menggembala kerbau, dan malam harinya mengaji lagi di rumah. Kadang-kadang, beliau juga disuruh menumbuk padi di lumbung – suatu pekerjaan yang biasa dilakukan anak perempuan. Maklum, beliau anak pertama, dan seperti diakuinya, anak pertama adalah contoh sekaligus tumbal dalam keluarga.
Meskipun demikian KH. A. Tajuddin Marzuki tidak kehilangan masa kecilnya yang paling indah. Hidup dalam keluarga yang mempunyai aturan ketat tidak membuatnya tersisih dari pergaulan. Diwaktu-waktu tertentu beliau sempatkan diri bermain ‘benteng’ dengan anak laki-laki dan anak perempuan tetangga, atau mandi di sungai bersama teman-teman sebaya sampai menjelang petang. Resiko kalau ketahuan memang bisa diobong di kandang kerbau hingga seluruh badan bau asap. Tetapi beliau tidak pernah mengeluhkan hukuman yang pernah diterimanya. Malah dari kekerasan hidup yang dialaminya beliau bisa belajar bagaimana berkelakar. Selama ini, selain dikenal sebagai orang serius, beliau juga dikenal sebagai humoris sejati. Kemampuannya berkelakar hampir mendekati budayawan Mahbub Djunaidi atau Jaya Suprana.
Pendidikan
Terusirnya penjajah Belanda dari bumi Pertiwi pada tahun 1949 memberi kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk membangun dirinya sendiri. Pendidikan yang sebelumnya menjadi monopoli anak-anak pejabat pemerintahan Hindia Belanda kemudian diambil alih pengelolaannya oleh kalangan pribumi, sehingga bangsa Indonesia yang sangat terbelakang berkesempatan membangun diri melalui pendidikan.
Upaya membangun diri melalui pendidikan juga tampak semarak di kampung Oejoeng Malang. KH. Noer Alie yang baru saja kembali dari medan pertempuran merasa perlu mengajak tokoh-tokoh masyarakat untuk melanjutkan kembali kegiatan-kegiatan pendidikan yang pernah dirintis sebelumnya. Ditengah-tengah kesibukannya pula sebagai Ketua Dewan Pemerintahan Kabupaten Bekasi dan sebagai anggota konstituante KH. Noer Ali dan kawan-kawan telah berhasil membangun enam buah Madrasah Ibtidaiyah (Sekolah Rakyat Islam, SRI) dan sebuah masjid berdaya tampung 2500 orang jamaah. Hingga tahun 1956 telah banyak putra-putra Oejoeng Malang yang memenuhi panggilan belajar. Sebagian ada yang bersekolah di SRI Oejoeng Malang, dan sebagian lagi bersekolah di Pesantren Bahagia Bekasi.
Pada waktu itu agak sulit mencari putra-putra terbaik Oejoeng Malang yang bisa dikader. Mereka yang dulunya pernah mengenyam pendidikan formal jarang yang mau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena faktor-faktor finansial atau sudah keburu menikah. Pilihan sudah pasti jatuh kepada mereka yang masih punya kemauan untuk belajar dan dukungan finansial. Kebetulan pada waktu itu banyak para pelajar Oejoeng Malang yang mondok di Pesantren Bahagia Bekasi pulang kampung karena sekolahnya bubar. Di antara mereka ada H. Ma’aly Syamsuddin, KH. A. Tajuddin Marzuki, dan beberapa yang lainnya. Setelah mengadakan musyawarah KH. Noer Alie dan kawan-kawannya akhirnya memutuskan untuk mengirim H. Ma’aly Syamsuddin dan KH. A. Tajuddin Marzuki ke Pondok Modern Gontor Ponorogo. Tugas kedua orang ini, selain menuntut ilmu, juga mencari pengalaman pendidikan di Gontor. KH. Noer Alie mencita-citakan tamatan Attaqwa nantinya tidak hanya mampu mengajar, akan tetapi juga mampu menyelenggarakan pendidikan dan membangun masyarakat.
Dari kronologis di atas dapat diketahui bahwa jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh KH. A. Tajuddin Marzuki hanya SRI (4 tahun) dan Kuliyatul Mu’alimin (6 tahun). Tak ada catatan lagi kalau kemudian beliau pernah meneruskan studi di perguruan tinggu atau yang lainnya, dan ini dibuktikan dengan namanya yang polos tanpa titel akademis.
Pengabdian di Dunia Pendidikan
Sepulang dari menuntut ilmu di Pondok Modern gontor KH. A. Tajuddin Marzuki langsung diserahi mengurus lembaga pendidikan Al-Baqiyatus Sholihat. Sedangkan rekan seperjalanannya H. Ma’aly Syamsuddin diserahi mengurus Madrasah Menengah Attaqwa (MMA). Baik Al-Baqiyatus Sholihat maupun MMA merupakan terapan pengalaman yang diperolehnya dari Pondok Modern Gontor. Lama pendidikan di kedua lembaga ini 6 tahun, sama seperti yang diterapkan di Gontor.
Beberapa tahun berselang terjadi pergantian pimpinan secara mendadak di Al-Baqiyatus Sholihat. HJ. Sholihah Noer, putri kedua KH. Noer Alie, diamanatkan untuk meneruskan pengembangan lembaga ini (saat ini Pimpinan Ponpes Attaqwa Puteri dipegang oleh puteri ketiga KH. Noer Ali, Hj. Atiqoh Noer, MA). Sedangkan KH. A. Tajuddin Marzuki ditarik menjadi Kepala Sekolah MMA (sekarang MMA diubah menjadi Madrasah Aliyah dengan Pimpinan Ponpes Attaqwa Putra, KH. Nurul Anwar, Lc. Dan Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Ust. H. Ahmad Masilla Iskan, Lc.)untuk mengisi kekosongan pimpinan karena H. Ma’aly Syamsuddin resmi terpilih menjadi Kepala Desa Bahagia.
Sebagai pendidik sejati tidak ada yang bisa dilakukan KH. A. Tajuddin Marzuki kecuali menerima tugas itu sebagai amanah yang lebih besar dari yang pernah dijalankannya. Dan ternyata di MMA inilah KH. A. Tajuddin Marzuki menemukan peran yang sebenarnya sebagai tenaga pendidik. Mengajar, baginya, tidak semata-mata berdiri di muka kelas sambil menerangkan pelajaran. Pada waktu-waktu tertentu mengajar juga harus dibarengi dengan pemantauan kegiatan para santri dalam memahami dan menerapkan pelajaran yang diterimanya. Sebab, pada prinsipnya, tujuan dasar pendidikan adalah terbentuknya kepribadian anak didik di atas pilar-pilar kebenaran. Anak didik harus dibiasakan menerima kebenaran walaupun pahit.
Pada kenyataannya memang alumni Attaqwa yang sekarang sudah jadi ‘orang’ adalah mereka yang dahulunya ‘kenyang’ dihukum KH. A. Tajuddin Marzuki. Tidak kurang dari H. Asmawi yang buka kartu. Dulu sewaktu masih mondok di Attaqwa dia adalah langganan hukuman KH. A. Tajuddin Marzuki. Sekarang dia sudah menjadi pengusaha dan tokoh yang disegani. Demikian pula mereka yang sekarang telah menjadi ulama, cendikiawan, pejabat pemerintah, kepala sekolah dan lain sebagainya, blak-blakan mengakui tanpa ketegasan yang diperlihatkan oleh KH. A. Tajuddin Marzuki mereka belum tentu jadi orang.
Terlepas dari kisah suka dan duka alumni Attaqwa, yang jelas KH. A. Tajuddin Marzuki adalah seorang pendidik sejati yang berhasil melahirkan kader-kader yang ulet dalam memperjuangkan kemajuan umat. Beliau tetap istiqomah dengan tugas-tugas kependidikannya hingga akhir hayatnya. Jabatan terakhir yang dipegangnya di Yayasan Attaqwa adalah Wakil Ketua Yayasan Attaqwa, Wakil Ketua I Dewan Masjid Attaqwa, dan Ketua Pembangunan Yayasan Attaqwa.
Pengabdian di Dunia Politik
Sebagai manusia biasa yang dibesarkan oleh lingkungan keluarga pejuang KH. A. Tajuddin Marzuki punya bakat-bakat politik. Setidaknya, kalau para orang tua terdahulu berpolitik dengan mengangkat senjata melawan penjajah Belanda, maka KH. A. Tajuddin Marzuki berpolitik melalui kalam dan kata-kata.
Kiprahnya di panggung politik dimulai pada tahun 1965 ketika Jakarta dilanda gelombang demonstrasi menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Bersama beberapa temannnya beliau ambil bagian dalam demonstrasi itu, dan merupakan salah seorang saksi mata ketika pahlawan Ampera Ichwan Ridwan Rais tertembak di bagian dadanya.
Pada waktu PKI dan ormas-ormasnya dibubarkan KH. A. Tajuddin dan kawan-kawan yang tergabung dalam Pelajar Islam indonesia (PII) Cabang Oejoeng Malang mendapat tugas untuk melakukan pengganyangan sisa-sisa PKI di kecamatan Babelan. Dalam kegiatan pengganyangan itu KH. A. Tajuddin Marzuki sempat terlibat kontak fisik dengan orang-orang PKI di kampung Tambun dan Buni Bakti. Ikut dalam tugas tersebut diantaranya H. Abdullah santri senior Attaqwa asal karang Tengah dan Alm. H. A. Rofi’ie AR adik kelasnya sewaktu di Gontor.
Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, mungkin istilah inilah yang mengilhami anak beliau H. Syamsul Falah, Msc. Sebagai Ketua DPRD Kab. Bekasi Untuk mengikuti jejak beliau berkarir di bidang politik.
Pengabdian di Masyarakat
Masyarakat, bagi guru-guru senior Attaqwa, adalah tempat pengembangan ilmu sekaligus medan da’wah yang tidak boleh ditinggalkan. Ini sesuai dengan himmah dan harapan KH. Noer Alie yang menghendaki kader-kader Attaqwa lebih mengutamakan urusan masyarakat ketimbang urusan benda mati. Oleh karena itu, hampir di setiap dada kader Attaqwa tertanam semangat pengabdian kepada masyarakat.
Bagi penerus seperti KH. A. Tajuddin Marzuki, pengabdian kepada masyarakat adalah panggilan suci di samping mendidik santri-santri Attaqwa. Beliau tidak ingin namanya hanya tercantum sebagai Wakil Ketua I Dewan Masjid Attaqwa, beliau tidak mau di usia lanjutnya hanya berpangku tangan. Dalam setiap perayaan hari besar Islam, besar maupun kecil, dekat maupun jauh beliau menyempatkan diri untuk hadir.
Para pengurus Yayasan Attaqwa Cabang juga sering berkonsultasi dengan beliau bila berurusan dengan masyarakat. Reputasinya dalam mengurus masalah Yayasan Attaqwa Cabang memang patut diacungkan jempol. Banyak Yayasan Attaqwa Cabang yang semula ingin melepaskan diri dari Pusat mengurungkan niatnya karena keder berhadapan dengan KH. A. Tajuddin Marzuki.
Di Pusat sendiri beliau adalah konsultan khusus KH. Moh. Amin Noer, Lc. Ketua Yayasan Attaqwa Pusat ini selalu berkonsultasi dengan beliau hampir di semua urusan, mulai dari urusan Yayasan hingga urusan pribadi. Tepat benar kedudukan beliau sebagai Wakil Ketua di Yayasan Attaqwa Pusat. Alm. KH. Noer Alie rupanya ingin memberi peran khusus yang nilai pahala dan kemuliannya sama dengan sang ketua. Perannya bukan saja sebagai kedua anak yang dulunya hidup bertetangga, tetapi ketika dewasa dan tua mereka juga harus bahu membahu melanjutkan misi perjuangan Yayasan Attaqwa.
Selamat Jalan Guru
Jum’at, 9 juni 2000, pukul 08.45, di Ruang Mawar Rumah Sakit Mekarsari. Ditemani oleh istri tercintanya Hj. Maqbulah H. Mahmud, beberapa orang anaknya, dan H. Jayadi murid sekaligus teman dekatnya, KH. A. Tajuddin Marzuki menghembuskan napas terakhir dengan tenang dalam usia 59 tahun. Lewat komunikasi berantai berita duka cita pun dikirim ke seluruh pelosok Bekasi, Jakarta, Bogor, Karawang, Subang, Tangerang, hingga ke Kuala Lumpur dan Cairo. Seiring dengan itu, ditempat kelahirannya dan di majlis-majlis ta’lim yang dipimpinnya berita duka cita disebarluaskan lewat pengeras suara. Radio Attaqwa yang pada saat yang sama sedang cuti mingguan juga turut menyebarluaskan berita dengan menyajikan acara khusus pembacaan Surah Yasin selama 12 jam.
Hanya dalam satu jam berita yang dikirim telah rata menyebar. Dari pelayat yang datang ke rumah duka di Jl. KH. Noer Alie No. 7 Ujungharapan, tampak para alim ulama dari berbagai daerah,cendikiawan, pejabat pemerintah sipil maupun militer, anggota DPRD Bekasi, tokoh-tokoh masyarakat , pegawai sipil, pengurus partai, alumni Attaqwa dari semua angkatan, guru-guru Attaqwa, santri putra dan putri Attaqwa, dan masyarakat umum. Mereka semua merasa kehilangan – kehilangan seorang figur yang telah sekian lama mengabdi di dunia pendidikan dan kemasyarakatan, kehilangan seorang tokoh yang istiqomah dalam setiap langkahnya.
Demikianlah biografi singkat KH. A. Tajuddin Marzuki sebagai figur keluarga dan masyarakat Oejoeng Malang, mudah-mudahan kita semua yang telah membaca tulisan ini bisa mengambil sebuah pengalaman yang suci dari beliau. Sekian..
Sumber : http://www.ikpmamesir.com (komunitas keluarga Attaqwa-Cairo)
1 komentar:
Bagus...Mudahan ini baru kerangka besarnya, yang masih perlu di lanjutkan dengan kerangka yang lebih kecil untuk mengisi mosaik yg masih kosong seperti khutbah ied beliau yang sangat menyentuh.
Posting Komentar