Kamis, 03 Desember 2009

KH. NOER ALIE DAN EKONOMI


KH. NOER ALIE DAN EKONOMI
Cecep Maskanul Hakim

Tidak mudah menulis pemikiran seseorang yang telah wafat. Tidak mungkin misalnya melakukan wawancara. Apalagi yang bersangkutan tidak meninggalkan jejak berupa buku atau artikel di majalah dan koran. Yang tertinggal darinya hanyalah apa yang diceritakan orang lain tentangnya dan tidak bisa lagi dikonfirmasi.

Tapi tidak demikian halnya dengan KH. Noer Alie. Kiai yang amat popular di kalangan masyarakat Bekasi dan Jawa Barat ini, meskipun tidak meninggalkan tulisan, tapi ajarannya masih melegenda. Beliau telah menghadap Yang Kuasa, tapi kenangan dan cerita tentangnya begitu hidup di kalangan murid, sahabat dan bahkan cucu-muridnya. Hal ini dikarenakan pengabdian beliau yang nyaris tidak terhenti sepanjang hidupnya, terutama bagi perbaikan dan pengembangan masyarakat. Mulai dari keterlibatannya dalam revolusi fisik

melawan penjajah Belanda, menjadi Ketua Dewan Pemerintahan Kabupaten Bekasi, mendirikan lembaga pendidikan, dan mengajar keliling ke berbagai masjid. Tidak heran jika almarhum dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah atas jasa-jasanya dalam rangka ikut berjuang melawan penjajah Belanda dan mempertahankan Republik Indonesia.

Sayangnya tulisan tentang riwayat hidup dan perjuangan beliau masih sedikit. Diantaranya buku yang ditulis oleh Ali Anwar dengan judul "KH. Noer Ali: Kemandirian Ulama Pejuang" atau kumpulan tulisan dalam blognya http://noeralie.wordpress.com. Selebihnya masih berbentuk legenda dan cerita dari mulut ke mulut. Karena itu tulisan mengenai berbagai aspek lain tentang beliau mutlak diperlukan.

Tulisan ini mencoba menggali pemikiran KH. Noer Alie dalam hal pembangunan dan pengembangan ekonomi Islam, sebuah subyek yang kini dipelajari secara serius oleh dunia akademis di Indonesia khususnya. Bidang ini mulai mendapat perhatian ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan masih terasa dampaknya sampai sekarang. Sejak saat itu orang mulai mempertanyakan sistem ekonomi yang dianut oleh Indonesia. Sistem yang dibangun selama 30 tahun oleh Soeharto bersama Orde Barunya hancur dalam sekejap meninggalkan masalah keuangan, ekonomi bahkan kemanusiaan. Bencana itu masih terasa dampaknya bagi masyarakat, sampai sekarang.

Mengaitkan KH. Noer Ali dengan masalah ekonomi ibarat mencari bayang-bayang dalam cahaya temaram. Dia ada disana, tapi diperlukan kejelian menemukannya. Pasti ada yang terselip diantara kebijakannya dalam memimpin Yayasan Attaqwa selama 30 tahun. Atau dalam ceramah-ceramahnya yang tersebar di berbagai kaset rekaman milik murid-muridnya..

KH. Noer Alie dan Konsep Pembangunan

Jaman Orde Baru (1967-1998) adalah jaman dimana kata “pembangunan” sangat sering diucapkan dan dikampanyekan oleh pemerintah. Hal itu terjadi karena pemerintah ingin membangun Indonesia menjadi negara maju. Karena itu perlu membangun di berbagai bidang. Sedemikian berkuasanya program itu, sehingga seringkali pihak yang tidak setuju dengan pemerintah dicap sebagai “anti pembangunan” atau “menghambat pembangunan.”

KH. Noer Alie mengkritik konsep “pembangunan di segala bidang” yang dikatakannya sebagai konsep yang kontradiktif. Ia melihat pemerintah tengah berusaha menjadikan manusia Indonesia dengan kepribadian ganda, yaitu kepribadian yang memiliki karakter yang saling bertentangan. Di satu sisi, pemerintah berusaha mendidik masyarakat menjadi masyarakat yang agamis dengan mengadakan lomba Tilawah Quran (MTQ), lomba Tafsir Quran, dan lomba Qasidah, tapi disisi lain juga mendorong masyarakat untuk mengembangkan tradisi yang justru merusak agama, dengan dalih pembangunan budaya, seperti aliran kepercayaan dan kebatinan. Oleh karena itu, menurutnya, “pembangunan di segala bidang” akan gagal.

Baginya, pembangunan ekonomi harus dimulai dengan pembangunan karakter manusia. Dan karakter manusia hanya dapat dibangun berdasarkan agama. Nilai-nilai yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi seperti kerja keras, kejujuran, kedisiplinan dan keteraturan hanya mungkin tercipta apabila manusia menghayati Islam sebagai agama dengan system yang komprehensif, meliputi kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, menurutnya, system pendidikan harus menciptakan manusia yang “pinter” (pandai) dan “bener” (baik). Konsep ini mirip dengan yang dikemukakan oleh BJ Habibie, sewaktu menjadi Menteri Riset dan Teknologi di jaman Soeharto, dengan adagium “iptek” (ilmu pengetahuan) dan “imtak” (iman dan taqwa). Konsep Habibie yang kemudian diadopsi oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) sebagai salah satu pilar pengembangan SDM ini, juga pada dasarnya bertujuan menciptakan manusia Indonesia yang pintar, cerdas dengan landasan kebenaran yang berdasarkan Islam.

Mungkin sebuah kebetulan apabila pada tahun 1973 Khurshid Ahmad, seorang ahli ekonomi Islam mengemukakan konsep yang mirip tentang pembangunan ekonomi dalam Islam. Ia mengatakan pembangunan ekonomi dalam Islam bukan semata pembangunan ekonomi fisik, tapi berawal pada pembangunan mental dan karakter manusia. Ia mengemukakan, bahwa untuk bisa melakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan selamat bagi ummat manusia, ada empat hal yang harus dijadikan dasar. Pertama Tauhid, kedua Rububiyyah, ketiga Khilafah (peran manusia sebagai khalifah di dunia) dan keempat penyucian diri (tazkiyah nafs).

KH. Noer Alie dan Kemandirian Ekonomi

“Noer Alie adalah seorang Ghandi. Bedanya, ia berasal dari Bekasi Utara” kata seorang rekan. Ia mengomentari sosok sang kiai itu, setelah menyaksikan begitu banyak upaya yang dilakukan agar yayasan yang dipimpinnya, bahkan kampung tempat tinggalnya (Ujungharapan), mandiri dalam segala bidang, termasuk dalam bidang ekonomi. Ia menyamakannya dengan Mahatma Ghandi, pejuang kemerdekaan India yang terkenal dengan metode non-koperatif dan tanpa kekerasan dari kolonialis Inggris, yang terkenal dengan semboyan Swadhesi.

KH. Noer Alie memang pernah memimpikan kampungnya menjadi kampung syurga. Murid-murid yang belajar agama darinya, menafsirkannya sebagai impian untuk menjadikan kampungnya sebagai pusat pengembangan agama Islam, dimana semua ajaran Islam dilaksanakan secara kaffah.  Tapi bagi Noer Alie sendiri, kampung syurga bermakna kampung yang penduduknya sejahtera secara lahir dan batin. Artinya secara ekonomi kampung itu harus cukup sehingga masyarakatnya dapat membiayai sendiri kehidupan lahiriyah, dan secara agamis masyarakat bersandar kokoh kepada aqidah, syariah dan akhlaq. Ia mengumpamakan masyarakat kampung seperti itu memiliki “kampung yang bersih dan teratur; sawah yang airnya cukup dan panen yang berlimpah, dengan penduduk yang rajin beribadah dan berzikir kepada Allah SWT.”

KH. Noer Alie mencontohkan sendiri bagaimana tujuan itu harus dicapai. Tidak jarang ia mencangkul sendiri kebunnya untuk ditanami berbagai tanaman. Ia juga turun ke sawah bersama petani untuk menanam benih padi, memanennya tatkala musimnya tiba. Ketika pemerintah daerah datang menawarkan bantuan, ia meminta mereka memperbaiki saluran air dan memastikan tersedianya bibit tanaman dan pupuk. Ia bahkan merelakan tanah di sekitar pondok pesantren  dijadikan “basecamp” sebuah developer untuk pembangunan infrastruktur berupa jalan aspal dari Ujungharapan ke Babelan. Ia juga yang mempelopori pembangunan jalan tembus dari Ujungharapan ke Teluk Pucung dan dari Ujungharapan ke Kebalin, dua desa di sebelah timur Ujungharapan.

KH. Noer Alie juga mendidik para santri untuk bisa mandiri. Ketika para santri meminta bantuan dana untuk mendirikan gedung koperasi santri, ia meminta mereka untuk ikut memotong padi ketika sawah milik yayasan memasuki musim panen. Hasil itu kemudian dijual dan dibelikan bahan bangunan.

KH. Noer Alie dan kompetisi yang adil

Yayasan yang dipimpin KH. Noer Alie mengelola aset wakaf yang sangat banyak. Aset itu tersebar di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Bekasi, seperti Babelan, Tarumajaya, Penggarutan, Kaliabang, Kebalen, Gabus, Teluk Pucung, Pekayon dan lain-lain. Kebanyakan asset ini dalam bentuk tanah sawah.  Karena kekurangan pengurus untuk mengelolanya, KH. Alie mengizinkan para petani untuk menggarap tanah sawah milik yayasan itu dengan sistem bagi hasil.

Pada menjelang musim tanam, para petani yang berminat untuk mengelola sawah milik yayasan diundang untuk melakukan tender. Apabila petani yang datang untuk mengelola sawah yayasan di daerah tertentu hanya satu orang, maka tawar menawar dilakukan langsung antara pengurus yayasan dengan petani dimaksud. Jika pengelolanya lebih dari satu orang, maka kepada mereka ditawarkan untuk melakukannya bersama. Jika tidak, maka penentuan akan dilakukan dengan lelang; siapa yang menawarkan bagi hasil lebih tinggi kepada Yayasan, maka dialah yang berhak mengelolanya.

Meskipun memahami kurangnya pendidikan di kalangan para petani, itu nampaknya KH. Noer Alie tidak bisa meninggalkan asas leissez faire dalam penentuan hasil ekonomi yang optimal. Dia mengerti betul bahwa ia bisa saja melakukan intervensi dengan menunjuk salah satu dari petani-petani itu untuk mengelola tanah wakaf yang diamanatkan kepadanya. Tapi cara itu justru akan bersifat koruptif, yaitu menentukan kekuasaan seorang petani atas petani lainnya. Jika demikian yang terjadi, maka hasilnya justru tidak optimal. Sang petani akan cenderung melakukan monopoli atas tanah yang dikelolanya dan kepentingan pribadi yang lebih luas akan jadi dominan.

KH. Noer Alie dan Pemerataan

Berdasarkan cerita yang berkembang di kalangan Dewan Masjid, KH. Noer Alie pernah meminta pengurus melakukan pendataan jamaah masjid beserta mushalla. Daftar jamaah dari berbagai mushalla itu diperintahkannya untuk diberi kode hijau atau merah. Kode hijau berarti jamaah itu sudah berada garis “aman”, sedangkan kode merah bermakna jamaah tersebut perlu dibantu.

Berdasarkan daftar jamaah itu, zakat, infaq dan sadaqah didistribusikan. Ia mengatur sendiri bagaimana dana-dana sosial itu disalurkan. Ada yang memang langsung dibagikan kepada mustahiq, tapi ada yang berupa pinjaman. Maksudnya adalah untuk mendidik agar penerima bantuan itu dapat berusaha menghidupi dirinya sendiri dengan cara menjadikan bantuan itu sebagai modal usaha.


KH. Noer Alie dan bunga bank

Perdebatan tentang hukum bunga bank telah terjadi di berbagai forum kajian ormas Islam. Muhammadiyah telah memulainya dalam forum Majlis Tarjih muktamar tahun 1971 di Situbondo. Majlis Tarjih menyimpulkan bahwa hukum bunga bank adalah "musytabiha". Untuk itu boleh hukumnya mengambil bunga dari bank-bank Pemerintah, tapi tidak  boleh dari bank komersial.

Nahdlatul Ulama melalui Bahtsul Masail pada Muktamar 1992 di Bandar Lampung mengeluarkan fatwa bahwa hukum bunga bank ada 3, yaitu haram, halal dan syubhat.  Fatwa dengan substansi yang sama  didahului oleh MUI yang melakukan silaknas pada tahun 1990 di Cisarua, Bogor, tentang hukum bunga bank. Fatwa ini kemudian mendorong lahirnya Bank Muamalat, bank umum syariah pertama di Indonesia, dua tahun kemudian.

Jika menelusuri sejarah lebih kebelakang, perdebatan tentang bunga bank ternyata sudah ada sejak tahun 1934. Pada Sidang Majelis Tarjih pertama KH. Mas Mansur menyatakan bahwa Muhammadiyah mengambil pendapat bahwa bunga bank tidak dibolehkan, tapi karena tidak ada cara lain yang lebih maslahat menyimpan dan melakukan pembayaran kecuali melalui bank, maka hukumnya menjadi darurat.
 
Meskipun KH. Noer Alie anggota elit Masyumi, dimana saat itu kebanyakan dari pengurusnya dari kalangan moderenis, seperti M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, yang menganggap bunga bank tidak bertentangan dengan agama, namun KH. Noer Alie teguh dengan pendapatnya yang berbeda. Bunga bank baginya sama dengan riba dan yang namanya riba dilarang oleh Alquran. Oleh karena itu ia meminta para pengurus Yayasan untuk tidak mengambil bunga tabungan dari rekening Yayasan, yang digunakan untuk menerima bantuan dari luar negeri.

KH. Noer Alie dan Zakat Produktif

Fenomena baru yang muncul dengan kemunculan perbankan syariah  pada tahun 1990an adalah Qardhul Hasan yang secara harfiah berarti pinjaman kebajikan. Pinjaman ini diberikan kepada fakir miskin yang dikembangkan dari "zakat produktif", yaitu memberikan zakat dengan menjadikannya modal usaha para mustahiq.

Para ulama berbeda pendapat  mengenai zakat yang dijadikan pinjaman modal. Sebagian menganggap bahwa hal itu tidak dibolehkan mengingat zakat bersifat tamlik artinya memberikan milik kepada para dhuafa, fakir dan miskin. Artinya sekali zakat diberikan maka ia menjadi milik mustahik, terserah untuk tujuan apapun mereka menggunakannya, termasuk untuk konsumtif. Di Indonesia, almarhum Prof. KH. Ibrahim Hosen LML, termasuk yang menganut pendapat ini. Sebagian lain berpendapat hal itu dibolehkan dengan dasar maslahat, yaitu maslahat tarbiyah. Yang dimaksud maslahat tarbiyah dalam hal ini adalah mendidik para dhuafa untuk dapat mandiri dengan cara diberikan modal usaha yang diambil dari dana zakat, sehingga mereka tidak lagi menjadi mustahiq, tapi juga muzakki.

Jauh sebelumnya KH. Noer Alie telah melakukannya untuk jamaah masjidnya yang termasuk golongan kurang mampu. Ia memerintahkan para pengurus untuk mendata jamaah yang layak menerima zakat dan yang kurang layak.


KH. Noer Alie dan Pemeliharan Lingkungan

Menanam pohon. Itulah hobi yang dilakukan KH. Noer Alie selama hidupnya. Ia amat senang dengan kebun jambu yang ada di samping pondok pesantren putra. Kebun itu ia kelola sendiri bersama pembantu kesayangannya yang bernama Inen. Terkadang ia cuma tersenyum lucu mendengar berita santrinya mencuri beberapa butir jambu dari kebun itu, sekedar menutupi rasa lapar ketika mereka menjadi piket jaga malam  di pondok. Selain itu ia juga terlihat sedang mencangkuli tanah di samping mushalla pesantren putri, untuk ditanami sayuran, sambil mengawasi santri-santrinya yang duduk tertib di tepi kebun, yang salah satunya tengah membaca kitab.

Ketika pemerintah memberikan bantuan berupa tanaman rimbun (akasia) pada tahun 1980an, ia sangat antusias menerimanya. Beberapa batang darinya diperintahkan ditanam di pondok pesantren putra sebagai pertanda bahwa pesantrennya mencintai lingkungan yang hijau dan asri. Sampai saat ini tanaman itu masih ada dan menjelma menjadi tanaman rimbun yang menghiasi halaman depan pondok pesantren putra.

Ia juga memperhatikan saluran-saluran air yang menjadi sumber pengairan bagi pesawahan di sekitar kampung. Tidak jarang ia mengajak penduduk kampung untuk bekerja bakti membersihkan saluran air di tepi jalan agar tidak menjadi sarang penyakit dan tidak tersumbat ketika musim hujan tiba.





Referensi:
1.      Rifyal Ka’bah, “Hukum Islam di Indonesia,” UI Press, 1998
2.      “Studies in Islamic Economics,” the Islamic Foundation, Leicester, 1980
3.      “Economics of Zakah,” seminar paper, International Research and Training Institute-IDB, Jeddah, 1998

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails