Diminta menjadi anggota Steering Committee Munas IKAA kali ini menghadirkan tantangan tersendiri. Karena munas sekarang diputuskan dilaksanakan ala virtual alias "daring". (daring = "dalam jaringan" alias on line). Ini munas pertama (mudah-mudahan terakhir) yang dilaksanakan tanpa kehadiran fisik. Semua (kecuali beberapa) harus mengikuti protokol yang berlaku akibat masih merebaknya wabah Corona.
Tiga tahun lalu munas dilakukan secara fisik. Yang hadir adalah perwakilan tiap angkatan, masing-masing 2 orang, satu putra dan satu putri. Tidak semua angkatan hadir, tapi quorumnya cukup untuk memulai sebuah munas. Dari 52 angkatan (lulusan pertama 1965, menurut riwayat Guru Mukhtar) yang berarti 110 peserta yang berhak hadir, ada sekitar 60 orang yang tercatat mewakili angkatan . Kalaupun kelihatan lebih rame, itu karena timses para calon ketua ikut nimbrung, memeriahkan suasana. Meskipun mereka ngga punya hak suara.
Ada yang “ngritik”, kenapa sih Munas mesti melalui perwakilan? Kan bisa jadi satu angkatan beda-beda suara. Sejarah musyawarah anggota IKAA dengan agenda pemilihan pengurus (baca= ketua) tidak pernah utuh. Idealnya sebuah organisasi yang tidak punya tingkatan/struktur melakukan musyawarah (atau kongres atau apapun namanya) harus dihadiri minimal 60% “seluruh” anggota. Bayangkan jika musyawarah anggota IKAA hanya bisa quorum kalau harus dihadiri 60% dari jumlah lulusan dari tahun 1965 sampai 2020. Pasti jawabannya “tidak mungkin”. Terus, selama ini siapa saja yang hadir dalam munas sebelum sistem perwakilan diterapkan? Jawabannya, yang peduli aja.
Ketika “flier” Munas 2020 diluncurkan ke berbagai group WA dan FB, saya mendapat berbagai respon japri (jalur pribadi). Isinya beragam, ada yang sinis dan bilang “Emang IKAA masih ada? Wong kerjaannya cuma Halal Bihalal doang pake munas segala. Rempong amat.” Ada juga yang sangat bersemangat mencalonkan diri sampai langsung bikin banner kampanye dan meminta via japri agar bisa dibantu supaya menang. Kesimpulan saya, lulusan Attaqwa masih punya kepedulian terhadap organisasi abituren ini. Hanya saja, seperti kata bung
Darso Arief Bakuama, IKAA “sibuk dengan urusan sendiri” sehingga kepedulian kepada anggota hanya sebatas Halal Bihalal. Tidak banyak agenda yang bisa memberikan manfaat kepada anggota secara keseluruhan. Nah untuk yang satu ini mending dibahas di munas, atau raker, karena terkait dengan program kerja dan mekanisme pelaksanaannya. Kalau soal suka minta-minta petunjuk, saya sih emang lebih suka minta saran dari Gus Sire (
Sirojudin Mursan Muan) yang penampilan dan bijaknya mirip Gus Dur itu.
Kenapa harus daring (online)? Saat pandemi yang masih tinggi seperti ini, bukan hanya IKAA yang mengadakan pertemuan secara virtual. Hampir seluruh institusi pendidikan tingkat dasar, menengah dan tinggi, melakukan pengajaran melalui media online. Kantor-kantor kebanyakan “
merumahkan” pegawai. Artinya mereka diminta bekerja dari rumah dan laporan menggunakan media daring. Bahkan pengajian-pengajian pun sekarang lebih banyak menggunakan Youtube. Menurut informasi rekan
Irhamni Rofiun (angkatan 2006,
Marhalah Iltizam) yang juga Kordinator PPI Timur Tengah dan Afrika, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Internasional melakukan pemilihan ketua menggunakan media virtual, lengkap dengan kampanye dan
web polling nya
Media yang digunakan untuk pertemuan ini berbeda-beda. Kebanyakannya menggunakan zoom. Tapi ada juga yang menggunakan webex, MS team, Google meet dan lain-lain. Dalam pertemuan pertama Steering Committee kemarin bahkan ada yang mengingatkan jumlah orang yang boleh hadir off-line (fisik) dalam aula yang akan kita pakai munas nanti. Protokol kesehatan tetap harus dijalankan; pakai masker, menyediakan sanitizer dan disinfectan, air dan sabun untuk cuci tangan. Bekasi masih punya zona merah yang berarti banyak yang positif Covid-19.
Menerjemahkan Tata tertib Munas dan Tata Tertib Pemilihan ke dalam protokol digital tidak mudah. Istilah “kehadiran” harus diartikan “login”. Pemungutan suara didunia daring hanya dikenal dengan “web polling” dan harus disosialisasikan kepada calon peserta mengenai cara penggunaannya. Sekretariat harus mendata semua perwakilan angkatan via WA maupun SMS sebelum munas dilakukan. Panitia juga harus yakin peserta munas memiliki kuota bandwith yang cukup untuk online selama munas (kira-kira 3 jam, atau sekitar 1-2 gigabite quota). Durasi munas menggunakan media online seperti zoom juga tidak boleh lama. Teorinya bisa unlimited, tapi kemampuan psikologis peserta mengikuti munas pasti terbatas. (Ada juga sih yang mau ngumpul sesama angkatan sambil nobar –nonton bareng- ngikuti munas demi mendukung calonnya).
Karena terbatasnya durasi, kemungkinan besar agenda Munas IKAA via Daring tidak maksimal seperti Munas biasa. Paling-paling sambutan, Pembacaan tata tertib (tanpa pembahasan), Laporan pertanggungjawaban pengurus dan pemilihan ketua. Bagaimana kalau peserta mau intrupsi? Di dunia nyata mudah saja dengan angkat tangan. Di dunia digital hanya bisa lewat chat option (pilihan obrolan) di zoom dan media lainnya atau raise hand (angkat tangan, hanya ada di aplikasi MS Team). Makanya pimpinan sidang mesti didampingi tim teknologi informasi yang dibentuk panitia. Apalagi kalau pimpinannya –mengikut istilah gaul- dari periode “
kolonial”, yang kebanyakan
gaptek padahal kebanyakan pesertanya masih “
milenial”. Tapi soal ini Steering Committee boleh lega untuk sementara. Sebab ada juga tamatan Attaqwa yang melek IT kayak
Adang Iskandar,
Elsiansu Rifaie dan Maskur yang kebetulan ditugaskan menangani IT di Munas ini. Saya juga pengen ngundang cak
Najib Yusuf lulusan Mts Attaqwa 3 yang sekarang jadi bos Jetschool, yang sempat populer di TV dengan aplikasi anti bolosnya.
Ribed amat bang?
Memang. Sampai sang sekjen pun (cak
Nurkholis Wardi) dan rekan
Abu Bagus Amin Idris bilang saya cerewet kayak nenek-nenek, saking telitinya menerjemahkan tiap aturan ke pola komunikasi dijital. Sebagai “think thank munas” Steering Committee wajib menjaga setiap hak dan kewajiban peserta dipenuhi tanpa embel-embel kepentingan.
Tapi kita tidak punya pilihan. Sebab pilihan lainnya adalah pertemuan offline (fisik) dengan risiko pandemi yang mengerikan. Dan taruhannya adalah nyawa. Yang bisa kita lakukan adalah mengambil hikmahnya. Semoga dengan muktamar via daring ini teman-teman alumni IKAA bisa lebih familiar dengan teknologi informasi yang barangkali selama ini hanya dikuasai oleh orang lain. Meminjam kata-kata teman, kita memang wajib bisa baca kitab kuning, tapi ngga boleh ketinggalan kitab daring (maksudnya teknologi informasi). Yang kedua, dengan adanya munas secara perwakilan, kekompakan group angkatan masing-masing bertambah kuat. Kecuali memang “dari sonohnya udah kagak bisa akur”.
Alumni Attaqwa boleh berbangga karena musyawarah abiturennya masih bisa kongres dengan pola organisasi formal (walaupun belum resmi berbadan hukum). Pengalaman saya memimpin organisasi alumni International Islamic University (IIU) Malaysia –Indonesian chapter selama 12 tahun (2004-2016) dan memprakarsai pendirian Ikatan Alumni International Islamic University (IIU) Islamabad (2014) menunjukkan kecendrungan yang sama dimana-mana. Yang namanya alumni kerjanya pengen ngumpul dan kangen-kangenan. Urusan pemilihan ketua “serahin sama yang senior-senior”. Bahkan Alumni Gontor punya tradisi, ketua alumni dari lingkungan pondok.
Jangan lupa, tradisi berorganisasi secara sehat ini bukan lahir begitu saja. Ini sudah diajarkan sejak kita berstatus “orok” di Attaqwa, yaitu PPA. Dan yang mengajarkan kita juga bukan tokoh sembarangan. Beliau, The Legend istilahnya sekarang, adalah salah seorang pimpinan elite Masyumi, yang terpilih menjadi anggota Konstituante yang bersejarah dan diabadikan dengan anugerah Pahlawan Nasional. Alfatihah.
Munas daring memang ribed. Tapi enak dan perlu. Kalau saya ditanya enak mana dengan munas biasa, jawaban saya tentu sama dengan teman-teman. Ya enak munas biasa donk. Seribed dan sepanas apapun munas biasa pasti ujungnya happy ending, makan bareng teman sepondok dengan menu favorit. (Jengki). Tapi karena pilihan itu tidak tersedia, ya kita nikmati saja munas daring ini, walaupun agak garing.
Wallahu A’lam
Diposting di Milis FB Alumni Attaqwa Bekasi