Re-load tulisan
Ditulis untuk Milis Alumni - Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi
Waktu masih kuliah di fakultas ekonomi, saya menikmati perdebatan antara mazhab Klasik yang diwakili oleh Adam Smith, Ricardo, Mill, JB Say dan lain-lain dengan mazhab Keynesian yang dimotori oleh Keynes, Philips, Kuznets, dan kawan-kawannya. Mazhab klasik yang memegang asumsi "penawaran (suplai) menciptakan permintaannya sendiri" terasa kedodoran berhadapan fakta empiris yag disodorkan para 'ksatria' Keynes berupa resesi dan hyperinflation yang terjadi pada tahun 30an. Saat itu, barang melimpah, tapi daya beli publik sangat rendah akibat gerogotan inflasi. Sebagaimana dimaklumi, berapapun besar nilai uang, tapi jika inflasi juga tinggi, maka nilai riil uang jadi tidak berarti terhadap barang.
Tapi sukses para Keynesian tidak berlangsung lama. Beberapa waktu kemudian satu per satu ekonom mulai menunjukkan ketidaksetujuan dengan toeri intervensi pemerintahnya. Puncaknya terjadi pada 1970an dimana fenomena spektakuler bernama "stagflation" tidak mampu dijawab oleh mereka. Stagflation adalah kondisi dimana ekonomi berada pada posisi stagnant (macet, tidak terjadi pertumbuhan) dibarengi dengan inflasi. Padahal menurut Keynesian, pertumbuhan ekonomi akan selalu dibarengi dengan laju inflasi, dan sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan (demand pushed) atau meningkatnya biaya-biaya (cost-pushed).
Dalam situasi stagflasi, teori ini tidak berlaku. Dan intervensi pemerintah sebagaimana resep yang ditawarkan Keynesian bukanlah jurus yang jitu, karena bisa membuat situasi jadi tambah parah. Mazhab klasik yang selama ini dianggap "underdog", lalu bangkit kembali jadi kekuatan alternatif, dan menghidupkan kembali teori2 lama dengan kemasan baru. Karenanya mereka sering dipanggil sebagai Neo-klasik. Samuelson, Modigliani dan Tobin termasuk dalam kelompok ini. Sebagian dari mereka seperti Fisher dan Friedman muncul dengan teori2 keuangan canggih, yang karenanya disebut kaum monetaris. Karena demikian patuhnya para ilmuwan kepada toeri-teori itu, sampai-sampai Milton Friedman digelari "nabi" kaum monetaris. Jika anda mendengar kata "only money matter" yang populer di dunia bisnis, sebenarnya hal itu merupakan jargon mereka yang merupakan hasil teoritisasi perubahan2 pada pasar riil dan tenaga kerja (employment) akibat perubahan kebijakan moneter. Menurut mereka, hanya uang (moneter) yang mampu mengubah keadaan inflasi atau sebaliknya, alias only money matters. Maka jangan heran jika kaum monetaris bisa mendukung gengnya dari mazhab neo-klasik yang mengusulkan adanya shock policy atau kebijakan mendadak. Di tanah air, mazhab ini dianut oleh Sumarlin dan kawan-kawannya yang sering disebut Mafia Barkeley. Maka tidak mengherankan ketika mereka menguasai Departemen Keuangan dan bank sentral, banyak kebijakan yang dikeluarkan serba dadakan, seperti "Gebrakan Sumarlin" (penarikan uang, kontraksi moneter dari perbankan, kenaikan harga minyak tiba-tiba, dll.)
Ketika terjadi crash di pasar modal Amerika pada 1985, krisis perbankan pada tahun 1988, dan serta krisis di belahan Asia pada tahun 1998, para ekonom ini ditantang oleh para pendatang baru untuk membuktikan bahwa teori-teori mereka memang masih relevan. Diantara mereka adalah Paul Ormerod, penulis buku terkenal The Death of Economics, yang mengklaim bahwa para ekonom yang mengatur ekonomi dunia melalui World Bank dan IMF adalah penganut teori orthodox dan kuno, bahkan sudah mati, sehingga tidak mampu memperbaiki perekonomian dunia, dan malah memperparahnya. Dan pukulan paling telak datang dari mantan "orang dalam" sendiri, yaitu Stiglitz, dengan bukunya, "Globalization and its discontents". Stiglitz berkesimpulan, sikap arogan ekonom di IMF yang memaksakan "rezim pasar bebas" sebagai prasyarat paket bantuan yang diberikannya mengakibatkan kehancuran yang tak terkendali pada negara yang dibantunya.
*****
Entah mengapa tiba-tiba saya teringat dengan mazhab-mazhab ekonomi itu. Mungkin karena seorang teman menyebut pondok tercinta sekarang dengan 'tradisional.' Kata 'tradisional' memang tidak identik dengan 'klasik'. Tapi ada kesamaan diantara keduanya. Dua-duanya 'jadul' alias sama-sama tidak moderen. Perbedaannya pada cita rasa. Klasik sering diartikan antik, produk lama tapi indah. Tadisional menggambarkan keterbelakangan dan inefesiensi.
Kembali ke teman kita yang tidak nyaman dengan gaya tradisional ini. Ia sempat gerah melihat para santri sekarang berpakaian "ala habib", yaitu jubah putih dengan peci putih. Yang saya tahu, ia bukannya 'anti arab', tapi menurutnya, penggunaan jubah bukan pada tempatnya justru akan menjadi antitesa terhadap makna yang dikandung oleh pakaian yang sering digunakan para haji itu. Bahkan bisa-bisa nama baik pondok jadi taruhannya.
Teman kita ini, ketika mondok dulu, terdidik dengan pakaian "sedikit moderen", yaitu baju putih biasa, kain dan peci hitam, untuk pakaian 'seragam formal santri", dan celana hitam pengganti sarung, untuk pakaian sekolah. Jubah dan peci putih hanya digunakan mereka yang sudah melaksanakan ibadah haji.
Ia lalu mencoba mereka-reka sejarah mazhab pendidikan di pondok kita. Ketika berdiri tahun 1930an, saat Pak Kiai pulang dari Mekkah, mazhab pendidikan yang digunakan adalah pesantren murni. Para santri membaca kitab di masjid dan di kebun, tergantung waktu yang ditetapkan beliau. Pesantren ini sempat tutup karena Pak Kiai terlibat perjuangan fisik melawan penjajah.
Setelah revolusi fisik pesantren dilanjutkan dengan sedikit pembaruan, yaitu pendirian sekolah dasar Islam (SDI). Sementara itu pesantren tradisional tetap dipertahankan. Kepulangan para kader yang dikirim Pak Kiai ke pondok moderen pada tahun 1960an menambah ciri kemoderenan itu. Sistem sekolah didirikan dengan nama madrasah menengah (6 tahun). Termasuk cara berpakaian dan kelengkapan belajar. Tapi sistem pesantren tetap dipertahankan dan murid-muridnyapun tidak sedikit. (Bahkan diantara mereka ada yang ditugaskan untuk tahfiz, menghafal quran). Kedua sistem berjalan secara harmonis, walaupun sesekali terjadi pergesekan. Dengan kata lain, pondok ini menjalankan dual system (meminjam istilah sistem perbankan di Indonesia).
Karena "kurang menjual" dan minat publik berkurang, akhirnya pesantren tutup dan yang tinggal adalah sistem persekolahan. Tapi temuan Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP), bahwa semakin hari kader ulama semakin berkurang, mengakibatkan Pak Kiai menghidupkan kembali sistem pesantren. Kali ini dalam bentuk pesantren tinggi. Para santri yang masuk minimal lulusan Aliyah. Hal ini dimaksudkan agar kualitas para santri menyamai kualitas perguruan tinggi. Sebagian dari mereka masuk karena dipilih secara khusus oleh Pak Kiai, jadi "hukumnya wajib". Hanya sedikit yang masuk dengan keinginan sendiri. (Hari gini, siapa sih yang masih mau nyantri, padahal masa depannya nggak jelas?)
Menghidupkan kembali pesantren dalam suasana serba "moderen" ibarat memutar jarum jam secara berlawanan. Hal ini disebabkan asumsi yang berlawanan antara pesantren dengan kehidupan modern. Pesantren adalah pusat kejumudan, ketertinggalan, orthodox dan hal-hal "jadul" lainnya. Sedangkan kehidupan moderen serba berubah, praktis, permisif dan "gaul". Meskipun secara pendidikan tidak menimbulkan masalah yang berarti, tapi "gap" antara para santri dengan para guru sangat terasa, terutama pada pola pikir, budaya dan teknologi. Secara psikologis para santri juga mengalami hambatan. Semacam minderwaderg complex begitu. Kalau sudah begini, hasilnya bisa ditebak. Pendidikan tidak akan pernah lagi efektif menghasilkan lulusan yang ’quilified’, karena faktor psikologis sudah menjadi hambatan sejak awal. Makanya jangan heran jika saya jadi teringat ”pertarungan” antara kaum Neo Klasik melawan Keynesian dalam menguasai ranah ilmu dan kebijakan ekonomi, walaupun tentunya beda wilayah dan dampaknya.
Namanya juga renungan.
Wallahu A’lam
Tasikmalaya, 12 Mei 2008
Attaqwa, NU atau Muhammadiyah?
2 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar